Kumpulan Hadits

Kumpulan Hadits

Jumat, 27 Juni 2014

"Himmah (keteguhan niat) laki-laki dapat meluluhkan (menyingkirkan) gunung-gunung."

Hadits 3 

"Himmah (keteguhan niat) laki-laki dapat meluluhkan (menyingkirkan) gunung-gunung."
Ini bukan hadits. Syekh al-Ajluni dalam kitab Kasyful-Khafa berkata, "Saya tidak menyatakannya sebagai hadits. Namun, ada sebagian ulama yang meriwayatkan dari Syekh Ahmad al-Ghazali bahwa ia mengatakan, Rasulullah saw. telah bersabda, 'Himmatur Rijaali taqla'ul jibaala.'"


Saya telah merujuk dan meneliti seluruh kitab sunnah namun tidak saya dapati di dalamnya. Adapun apa yang diutarakan Syekh Ahmad al-Ghazali tentang hadits tersebut tidaklah dapat dibuktikan dan tidak pula dibenarkan sebab ia tidak termasuk pakar hadits. Namun, ia seperti saudara kandungnya yakni Muhammad al-Ghazali, termasuk fuqaha sufi. Dalam Ihya Ulumuddin ia memang banyak mengutarakan hadits dan menisbatkannya kepada Rasulullah saw., tetapi oleh al-Hafidz al-Iraqi dan lainnya dinyatakan tidak ada sumber asalnya (tidak sahih).

"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak menambah sesuatu pun dari Allah SWT kecuali kejauhan."

Hadits 2 

"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak menambah sesuatu pun dari Allah SWT kecuali kejauhan."
Hadits tersebut batil. Walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi pembicaraan, namun sanad maupun matannya tidak sahih.

Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab Musnad asy-Syhab II/ 43, Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-Ka-wakib ad-Darari I/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbas r.a.. Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak sahih sampai kepada Rasulullah saw, tetapi hanya mauquf (berhenti) sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan merupakan ucapannya dan juga hanya sampai kepada Ibnu Abbas r.a. Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul-Iman halaman 12, tidak menyebut-nyebutnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya sampai kepada Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas r.a.

Di samping itu, matannya pun tidak sahib sebab zhahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi syarat rukunnya. Padahal, syara' tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah, kendatipun pelaku shalat tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat maksiat. Jadi, tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan makin menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak pula dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah menakwilkan kata-kata "tidak menambahnya kecuali jauh dari Allah" jika yang ditinggalkannya itu merupakan kewajiban yang lebih agung dari yang dilakukannya. Dan ini berarti pelaku shalat tadi meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Kemudian, tampaknya bukanlah shalat yang demikian (yakni yang sah dan benar menurut syara') yang dimaksud dalam hadits mauquf tadi.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut dha'if, baik dari segi sanad maupun matannya. Wallhu alam bishsbawab

"Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya."

"Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya."
Hadits tersebut batil. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dari Abi Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian ia berkata, "Hadits ini adalah batil munkar." Menurut saya, kelemahan hadits tersebut terletak pada seorang sanadnya yang bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal). Inilah yang dinyatakan oleh al-Uzdi dan dikuatkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul-I'tidal dan al-Asqalani dalam kitab Lisanul-Mizan.

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini ialah bahwasanya semua riwayat/hadits yang menyatakan keutamaan akal tidak ada yang sahih. Semua berkisar antara dha'if dan maudhu'. Saya telah menelusuri semua riwayat tentang masalah keutamaan akal tersebut dari awal. Di antaranya apa yang diutarakan oleh Abu Bakar bin Abid Dunya dalam kitab al-Aqlu wa Fadhluhu. Di situ saya dapati ia menyebutkan, "Riwayat ini tidaklah sahih."

Kemudian Ibnu Qayyim dalam kitab al-Manaar halaman 25 menyatakan, "Hadits-hadits yang berkenaan dengan akal semuanya dusta belaka."